PHDI SIDOARJO

Wednesday 27 January 2010

Pertemuan ke-2 antara PHDI dengan Wayan Dendra

Secara mendadak kemarin tgl. 27 Januari 2010 jam 20.00 wib Pak Wayan Dendra (anggota DPRD Kab. Sidoarjo) mengajak Pengurus PHDI untuk bertemu di Pura Jala Siddhi Amertha, menindak lanjuti pertemuan tgl. 22 Januari 2010. Perjuangan Wayan Dendra yang tidak mengenal lelah untuk berupaya agar Umat Hindu mendapat dana pembinaan secara rutin dari Pemkab Sidoarjo, rupanya menampakkan sinar terang. Salah satu Mata Anggaran berlabel BANTUAN MAJELIS PHDI telah mendapat persetujuan dari Badan Anggaran Daerah, walaupun nilai uangnya belum diketahui. "Astungkara, ini benar-benar anugrah Ida Betara, sehingga satu mata anggaran yang terkait Umat Hindu telah disetujui, walaupun nilai uangnya belum kita ketahui", demikian ungkap Wayan Dendra sambil berkaca-kaca karena terharu campur bergembira. Semua peserta rapat secara spontan menyalami Pak Wayan Dendra sebagai ungkapan terima kasih atas segala perjuangannya di DPRD maupun di Pemkab Sidoarjo, semoga ke depan selalu ada wakil umat Hindu duduk di DPRD Sidarjo yang peduli terhadap umat.(Mr.Pink)

Monday 25 January 2010

Pertemuan Kekeluargaan antara PHDI dengan Anggota DPRD Sidoarjo

Pada tanggal 22 Januari 2010 yang baru lalu, merupakan hari yang sangat baik bagi PHDI Sidoarjo khususnya dan Umat Hindu Sidoarjo umumnya, karena pada hari itu jam 19.00 wib bertempat di Bale Gong Pura Jala Siddhi Amertha, Bapak Wayan Dendra (anggota DPRD Sidoarjo) berkenan mengadakan pertemuan dengan lembaga-lembaga Hindu yang ada di Sidoarjo antara lain : PHDI, Pashraman, Rumah Tangga Pura dan Yayasan. Hal utama yang dibahas adalah bagaimana caranya agar Umat Hindu di Sidoarjo mendapat kucuran dana secara rutin dari Pemerintah. Hal ini perlu diperjuangkan karena umat lain sudah lebih dulu mendapatkan dana tersebut. Bapak Wayan Dendra memberikan saran agar masing-masing lembaga, khususnya : Pashraman, Rumah Tangga Pura maupun PHDI mengajukan proposal ke Pemerintah Kabupaten Sidoarjo paling lambat akhir bulan Januari 2010. Dalam proposal harus ditulis secara detail kebutuhan kita. Misalnya Pashraman ada 2 buah yaitu Pashraman Jala Siddhi Amertha dan Pashraman Empu Bharadah, keduanya membuat proposal masing-masing. Demikian juga ada 3 buah Pura di Sidoarjo yaitu : JSA, Margo Wening dan Nirwana Jati, semuanya membuat proposal masing-masing untuk kebutuhan anggaran dalam 1 (satu) tahun. Pak Wayan Dendra dalam sambutannya mengatakan jika proposal ini bisa selesai pada waktunya, beliau akan berusaha mengawal dan optimis akan memperoleh dana, namun besarnya sangat tergantung dengan anggaran yang ada di Pemkab Sidoarjo. Secara umum kita sebagai umat Sidoarjo merasa senang dan bersyukur ada seorang wakil dari umat kita yang duduk sebagai anggota DPRD. Mudah-mudahan apa yang kita rencanakan dapat berjalan dengan baik atas anugrah Ida Hyang Widhi Wasa. (Mr.Pink).

Sunday 17 January 2010

CIWA RATRI MALAM PERENUNGAN SUCI DI PURA MARGO WENING


Malam perenungan suci (Ciwa Ratri) di Pura Penataran Agung Margo Wening dihadiri oleh Umat Hindu Persembahyangan yang dimulai pada jam 19.30 Wib dipimpin oleh Jero Mangku Ketut Pasek yang didahului dengan pengayaban banten. Sebelum persembahyangan ditutup dengan Parama santih, acara diisi dengan Dharma Tula dengan nara sumber Bapak Ketut Suardaka. Pelaksanaan ini tidak bergeser dari tempat sembahyang yaitu di uttama mandala. Peserta sangat antusias menyimak makna dari Ciwa Ratri yang sebelumnya kita beranggapan bahwa inilah malam penebusan dosa. Nara sumber mengajukan pertanyaan “ apakah dosa yang kita buat selama satu tahun atau lebih apa mungkin bisa ditebus dalam waktu satu malam? Inilah yang perlu disimak. Perenungan yang dimaksud disini adalah berdiam dan menenangkan diri untuk menemukan kesadaran diri yang sejati. Sepanjang kita berada dalam kondisi pikiran yang gelap, kita tidak pernah bisa membedakan mana prilaku kita yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang menyenangkan orang lain dan mana yang meyakiti orang lain, bahkan dalam kondisi yang emosional manyakitkan orang lain atau mencelakakan orang lain dianggap yang terbaik, demikianlah yang disebut kegelapan jelas Ketut Suardaka. Begitu banyak pertanyaan ataupun saran yang disampaikan peserta sehingga tanpa terasa kita telah diskusi selama 2,5 jam lebih. Pada akhir sesi Pak Gusti Nyoman Gitra selaku Ketua Tumah Tangga Pura Penataran Agung Margo Wening Krembung menyampaikan terima kasih kepada umat yang berkesempatan hadir malam tersebut. Dhrama Tula ini ditutup pada jam 23.50 Wib dan dilanjutkan dengan persembahyangan tengah malam serta Japam “OM NAMA CIWAYA.” (Nyoman Simpen)

Thursday 14 January 2010

Persembahyangan Bersama dan DharmaTula Siwaratri di Pura JSA


Pelaksanaan prosesi persembahyangan Siwaratri tadi malam tgl. 14 Januari 2010 di Pura Jala Siddhi Amertha diawali dengan Persembahyangan Bersama mulai jam 19.30 wib Pemangku menghaturkan Puja Astawa, kemudian diisi Dharma Wacana oleh Pak Nyoman Partha dengan judul : Filosofi Siwaratri. Secara garis besar Partha menyampaikan bahwa alam ini terdiri dari 2 unsur yaitu : Purusa dan Prakerti. Purusa adalah unsur kejiwaan yang tidak nampak yang bersumber dari Hyang Widhi Wasa. Sedangkan Prakerti adalah unsur kebendaan. Kedua unsur inilah yang sangat mempengaruhi sifat manusia. Purusa akan mempengaruhi manusia untuk cendrung bersifat Suri Sampad (Kedewataan) sedangkan Prakerti cendrung akan mempengaruhi sifat manusia untuk bersifat Asuri Sampad (Keraksasaan). Sembahyang Siwaratri ini diyakini akan mampu menetralisir sifat manusia yang cendrung besifat negatif atau Asuri Sampad menjadi Suri Sampad.

Setelah persembahyangan bersama, umat diajak untuk ikut dalam Dharma Tula.yang dimulai kurang lebih jam 22.00 wib dengan menampilkan pemakalah I Gusti Ketut Budiartha dengan judul ”Peranan Generasi Muda dalam mengembangkan Hindu”. Disini sangat jelas nampak bahwa Pak Gusti sangat antosias memberi arahan kepada para remaja dan Generasi Muda Hindu agar terus menerus meningkatkan Sradha dan Bhakti kepada Hindu, sehingga mampu mempertahankan Agama nya kelak saat generasi muda ini akan berumah tangga.

Selesai Pak Gusti menyampaikan makalahnya, dilanjutkan dengan tanya jawab. Dimana dalam tanya jawab ini ada beberapa orang nara sumber yang mampu menjawab segala permasalahan yang disampaikan oleh generasi muda Hindu Sidoarjo, yaitu : Drs. Dewa Putu Adnyana, Dewa Made Pastika, SH,MM, Letkol I Ketut Sumerta dan Mangku I Gde Sumerta. Para Generasi Muda sangat anosias dalam menyampaikan pertanyaan, sehingga Dharma Tula ini terasa hidup. Tepat jam 00.00 Wib dilakukan persembahyang Tengah Malam dan ditambahkan dengan berjapa dengan mengucapkan mantram ”Om Nama Siwaya” sebanyak 108 kali. Acara ini sampai akhir dihadiri kurang lebih 150 orang.(Mr. Pink).

Tuesday 12 January 2010

Siwaratri Dalam Pengertian Kekinian

Ada seorang siswa bertanya kepada Gurunya :

Siswa : Kapan kita harus melaksanakan atau merayakan Hari Siwaratri ?
Guru : Pada panglong ping 14 sasih kepitu (Maghamasa)
Siswa : Mengapa kita harus melaksanakan Berata Siwaratri ?
Guru : Sebagai umat yang beragama Hindu, kita meyakini isi dari pada Weda. Anjuran untuk laksanakan Berata Siwaratri ini termuat dalam Weda Smerti yaitu : Garuda Purana atau Padma Purana, termasuk juga cerita Lubdhaka yang ditulis oleh orang suci jaman dulu yaitu Empu Tanakung.
Siswa : apa saja yang dilaksanakan dalam Berata Siwaratri itu ?
Guru : Ada 3 Berata (Tri Berata) yang mestinya kita laksanakan yaitu : Jagra (tidak tidur semalam suntuk sambil melaksanakan perenungan diri), Upawasa (pengendalian hawa nafsu khususnya terhadap makanan dan minuman) dan Mona Berata (pengendalian hawa nafsu khususnya terhadap pembicaraan)
Siswa : Secara logika kekinian, kenapa kita harus JAGRA ?
Guru : Yang dimaksud JAGRA disini, bukanlah begadang sembarang begadang, namun begadang diserai dengan perenungan, mawas diri, introspeksi diri, maka biasanya orang mengadakan Dharma Tula.
Siswa : Secara logika kekinian, kenapa kita harus Upawasa ?
Guru : Upawasa tidak lain adalah salah satu bentuk mengendalian diri tanpa harus makan dan minum selama 24 jam. Jika kita mampu melaksanakan Upawasa diyakini Karma Wasana baik yang akan kita peroleh.
Siswa : Kenapa juga kita harus melaksanakan Mona Berata ?
Guru : Mona Berata juga adalah salah satu bentuk pengendalian diri yaitu janganlah kita mengeluarkan kata-kata yang tidak baik selama 24 jam.
Siswa : Rasanya sangat berat kami melaksanakan Tri Berata Siwaratri karena kami ini baru belajar dalam pelaksanaan Tri Berata.
Guru : Tidak ada masalah, laksanakanlah secara bertahap. Sebagai pemula bisa kita laksanakan hanya JAGRA saja. Lama lama bisa memingkat ditambah dengan Upawasa. Kemudian setelah terbiasa baru kita tambahkan dengan Mona Berata.
Siswa : Terima kasih Guru atas pencerahannya. (Mr. Pink)

Monday 11 January 2010

"Mepamit" dari Pashraman JSA


Pada hari minggu 10 Januari 2010 sekitar jam 12.00Wib bertempat di ruang guru Pashramana JSA diadakan acara pamitan I Gusti Ketut Budiartha dan Luh Gede Tirtawati dari Pashramana JSA. Bapak I Gusti Ketut Budiartha mundur dari Wakil Ketua Pashraman JSA dengan alasan agar tidak terjadi komplik kepentingan karena beliau telah diangkat menjadi Wakil Ketua IV Bidang Pendidikan, Seni Budaya dan Penerangan PHDI Sidoarjo. Dalam sambutannya Pak Gusti (demikian panggilanya) selalu siap membantu Pashraman JSA untuk ikut membina siswa Pashraman dalam bidang Seni Budaya. Sedangkan Luh Gede Tirtawati mepamit dari Pashraman JSA dengan alasan mendapat tugas baru di Bank Mega Denpasar Bali. Acara pamitan tersebut dihadiri oleh Pak Gede Wiadnyana mewakili Ketua Rumah Tangga Pura JSA, Pak Cok dan Pak Made Boja mewakili Komite dan para guru Pashraman. Dalam kesempatan tersebut diserahkan cindramata oleh Ketua Pashrama JSA I Dewa Gede Ngurah Supartha kepada I Gusti Ketut Budiartha dan Luh Gede Tirtawati berupa amplop. Acara diakhiri makan bersama.

Thursday 7 January 2010

“DHARMA GITA” SEBAGAI MEDIA MENUMBUH KEMBANGKAN RASA KEAGAMAAN DAN PELAKSANAAN DHARMA AGAMA

Metode pembelajaran agama sudah dilaksanakan oleh orang tua kita terhadap anak-anaknya sejak kecil. Ketika bulan Purnama apalagi saat odalan di pura, saya masih ingat dan terngiang di telinga saya bagaimana girangnya menyambut perayaan tersebut. Bersama teman-teman, yang waktu itu di tempat saya ada semacam permainan kala-kalaan, silas kapal, kasti dll, akan tetapi tidak menyurut rasa gembira dan tidak ada beban yang menyelimuti hati.

Nah bagaimana dengan kehidupan dan perkembangan di abad sekarang? Atas kemajuan jaman dan teknologi serta sumber sumber pelajaran agama yang dengan mudah didapat, apalagi belakangan ini Internet sudah menjamur, sehingga dapat dikatakan munculnya generasi mall, plaza, makan siap saji, handphone, internet. Mereka tidak saja menganut budaya kebendaan dan tingkah laku, akan tetapi juga menganut idiologi massa dan instan. Padahal pijakan mereka pada budaya sendiri tidak kokoh atau sudah hilang. Buku-buku sumber pelajaran agama sekarang sudah banyak, kuncinya apakah kita mau rajin dan gemar membaca? Sebenarnya metode yang dipakai oleh orangtua kita untuk belajar agama adalah metode berjenjang. Salah satu diantaranya adalah melalui Dharma Gita.

Dharma Gita berasal dari kata dharma yang artinya kebajikan, kesucian, kebenaran dan Gita artinya nyanyian. Jadi “Dharma Gita” adalah nyanyian tentang kebenaran , kesucian, atau kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan upacara keagamaan. Tujuannya adalah dapat menumbuhkan rasa bhakti, menumbuhkan rasa ketulusan keheningan hati dalam memuja Ida Sanghyang Widhi. Fungsi Dharma Gita secara umum sebagai media untuk menumbuh kembangkan rasa keagamaan dalam pelaksanaan Dharma Agama. Dalam Agama Hindu, rasa keagamaan ditumbuhkan dengan ramuan Rasa Guna Bhoga dan Rasa Bhasa Basita yang diserap melalui Panca Golaka yaitu lima kemampuan persepsi atau daya tangkap indrya dalam bentuk tan matra.

Dalam Vrhaspatitattwa 33 disebutkan:
Ikang śabda tanmãtra dadi talinga, pinaka pangřengö pakénanya, ikang sparsatanmãtra dadi kulit, pinaka pangrasa panas tis pankénanya, ikang rũpatanmãtra dadi mata pinaka panon pakénannya, ikang rasatanmãtra dadi hilat pinaka pangrasa pakénanya, yan pamukti sadrasa, ikang gandhatanmãtra dadi irung pinaka pangambung gandhabo awangi pakénanya, apan ika pinaka golakaning indriyeka sampun ingujar ngũni.

Kemudian yang mengikuti Panca Budhi Indria yaitu lima indriya penyedar (Srotendrya, Tuakindrya, Caksundrya, Jihwendrya, dan Granendrya). Dari rasa-rasa tersebut timbulnya rasa cinta kasih melalui tembang-tembang yang dilantunkan umumnya oleh orang tua kepada anak- anaknya yang diharapkan akan tumbuh menjadi anak yang “SUPUTRA” berdasarkan harapan-harapan yang terkandung dalam tiga Adnyana Sakti yakni, Sang Hyang Gurureka, Sang Hyang Saraswati, dan Sang Hyang Kawiswara.

Dharma gita juga disampaikan dengan cara berjenjang oleh orangtua kita mulai dari yang ringan dan yang lucu, yang tak beraturan, anak anak yang baru mulai nyloteh mulai belajar berbicara, belum bisa merangkai kata-kata sampai dengan yang penuh dengan makna seperti Sekar Rare dan Sekar alit, Sekar madya, Sekar Agung, Palawakya dan Sloka dan Sruti. Semua hal tersebut disampaikan dengan berjenjang/hirarki, yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan putra-putrinya. Seperti terlihat dalam beberapa contoh Sekar Rare berikut.

Ratu ayu metangi me ilen ilen
Dong pirengan munyin sulinge ne di jabe
Enyen ento menyuling di jabe tengah
Gusti ngurah alit jambe pemecutan

Dahulu tembang tersebut sering terdengar di telinga ketika orang tua pada jaman dulu membangun anak-anaknya. Tidak saja membangunkan akan tetapi ketika mereka menggendong dan sambil menyuapi anak-anaknya.

Cakup Cakup Balang
Luwung titi luwung pengancan
Empak empak kayu bunut
Tepen umah isangut, tepen umah isanghyang….dst

Gending tersebut sering dilantunkan ketika seorang anak mulai belajar merangkak, berdiri dan bahkan mulai belajar berjalan langkah demi langkah dan si anak bulai bisa merespon canda ria dari orang tua.

Bebeke putih jambul, Mekeber ngaja kanginan,
teked kaje kangin, ditu ye tuwun mekejang,
briak briuk mesileman, kitak kituk mepangenan
.

Nyanyian tersebut sering terdengar di telinga kita ketika seorang ibu ingin memandikan jabang bayi sampai selesai dan anak-anak tersebut benar-benar bersih dan sudah berbaju. Nyanyian tersebut sudah mengandung nilai-nilai ajaran agama yang penuh dengan makna filosofinya.

Bila kita dapat menyimak makna kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam nyanyian tersebut di atas, tidak hanya cukup merasa puas dengan apa yang kita miliki sekarang dalam hal ini bukan kekayaan akan tetapi ilmu pengetahuan memegang peranan yang amat sangat penting dalam menghadapi zaman globalisasi seperti sekarang tentunya dengan menyatukan visi dan misi dalam pengabdian dengan harapan suatu pengabdian tidak ada sesuatu yang disesali akan tetapi pengabdian yang tulus dan ikhlas. (Ni Nyoman Tanjung - Guru Pashraman JSA)

Tuesday 5 January 2010

Siwaratri Jalan Pendakian Menuju Pembebasan


Bhagawad Githa VIII.5
Antakale ca mam ewa
Smaran muktwa kalewaram,
Yah prayati sa madbhawam
Yati na sty atra samsayah

Artinya:
Barang siapa pada waktu ajal tiba, akan meninggalkan badan jasmani ini mengenang Aku selalu, sampai kepada-Ku, ini tidak dapat diragu-ragukan lagi.

Bertepatan dengan hari ke 14 paruh gelap (panglong ping 14) bulan ke tujuh (Magha), seorang pemburu binatang bernama Lubdhaka berangkat ke hutan rimba. Perjalanannya yang seorang diri menuju arah Timur Laut melewati desa-desa tradisional, penduduknya sangat ramah dan santun. Sesampainya di hutan yang dituju tak seekor binatangpun nampak, hingga mendekati petang ia masih berputar-putar di tengah hutan, sampai akhirnya ia menemukan sebuah ranu (danau) yang cukup luas. Ditepian danau itulah Lubdhaka istirahat sambil menunggu binatang-binatang yang datang untuk minum. Rupanya keberuntungan belum berpihak kepada Lubdhaka, tak seekor binatang pun yang datang minum di danau itu. Matahari mulai terbenam, Lubdhaka memutuskan untuk menginap di sekitar danau.Untuk menghindari sergapan binatang buas, maka naiklah ia ke pohon maja (bilwa) yang ada ditepian danau. Takut terjatuh dari pohon saat tidur, maka dipetik-petiklah satu persatu daun pohon maja itu, sebagai pengusir rasa kantuk. Di bawah pohon maja terdapat Siwa - Lingga (nora ginawe : tidak ada yang membuat) dan dengan tidak diketahuinya semua daun maja yang dipipiknya jatuh ke Siwa - Lingga. Tanpa disadari sang Bhaskara (Matahari) telah muncul di ufuk timur, Lubdhaka turun dari pohon dan pulang meninggalkan keindahan pagi di hutan dengan kekecewaan yang mendalam karena tak seekor binatang pun yang didapat. Setibanya di rumah hari telah sore, betapa sedih istri dan anak-anaknya, hari itu mereka tidak makan. Hari demi hari berlalu kehidupan Lubdhaka dan keluarganya dijalani dengan tabah dan sabar serta senantiasa mendekatkan diri dengan Sang Penguasa Alam. Tibalah waktunya Lubdhaka ditimpa sakit keras dan kemudian ia pun meninggal dunia. Jenazahnya di bakar (ngaben). Rohnya (atma) melayang-layang di angkasa dengan penuh kesedihan karena tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuhnya. Sang Hyang Siwa (Tuhan) mengetahui keadaan roh Lubdhaka. Teringatlah Beliau terhadap perbuatan Lubdhaka yang telah melaksanakan Brata Siwaratri. Beliau memerintahkan para Ganabala (serdadu Siwa) menjemput roh Lubdhaka dan membawanya kehadapan Beliau. Di pihak lain Bhatara Yama (Dewa Kematian) juga mengutus Yama Bala menjemput roh Lubdhaka dan disiksa, disakiti. Terjadilah perdamaian antara Ganabala dan Yamabala karena sama-sama menjalankan perintah. Akhirnya roh Lubdhaka di bawa menghadap Sanghyang Siwa dan dianugrahi berbagai kebahagiaan sorga. Sinopsis kisah pemburu si Lubdhaka terdapat dalam sumber Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung pada zaman Majapahit. Cerita di atas adalah cerita yang sarat dengan pemaknaan simbolis. Lubdhaka pada saat yang tepat telah melakukan Pajagran (tidak tidur), orang yang melek artinya orang yang senantiasa sadar akan keberadaan Sang Diri. Sadar akan keberadaan Sang Diri berarti senantiasa mengabdikan diri pada Tuhan. Sebaliknya menurut Kitab Wrehaspati Tattwa menjelaskan bahwa manusia yang dibelenggu oleh indria-indrianya dinyatakan orang yang aturu (tidur), dan manusia yang senantiasa aturu (tidur) itulah yang disebut papa. Kepapaan sangat dekat dengan penderitaan, penderitaan hidup adalah wujud neraka di dunia. Lubdhaka dengan kesadaran yang tinggi (Jagra), dan penguasaan pengendalian diri yang kuat: Upawasa (puasa) dan Mona brata (mengendalikan kata-kata), telah dapat menikmati pahala karma baiknya yaitu bertemu dan menyatu dengan Siwa. Ajaran agama yang terkandung dalam Siwaratri adalah ajaran Siwa. Sembah (namasmaranam) dan persembahan (yajna) kehadapan Siwa sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha agung. Pertemuan dan persatuan dengan Siwa adalah menjadi tujuan. Hal penting lainnya pada Hari Suci Siwaratri adalah pelaksanaan Punya (bantuan dana / materi secara tulus iklas) kepada umat yang sangat membutuhkan, dan Pinandita, Pandita. Punya sesungguhnya merupakan lawan kata dari Papa mendapat tempat penting dalam agama Hindu. Artinya agama Hindu mengajak umat Hindu untuk memperhatikan dan menangani masalah-masalah social dan kemanusiaan, sebagai tindakan kerohanian. Hari Raya Suci Siwaratri jatuh pada tanggal 14 Januari 2010, perayaannya setiap setahun sekali yaitu sekitar bulan Januari - Pebruari. Ajaran yang terkandung dalam Siwaratri adalah ajaran pendakian spiritual menuju pembebasan. (IB.Heri)

Sunday 3 January 2010

KEJUJURAN (Cerita Untuk Anak)


Pada suatu hari dalam rangka memperingati tegak piodalan di sebuah pura , taruna dan taruni pura mengadakan lomba melukis yang pesertanya dari Pasraman sekolah minggu mulai dari anak kelas 1 sampai dengan kelas 6 saja. Perlombaan ini merupakan perwakilan dari masing – masing kelas yang ada. Nama anak-anak yang berhak mewakili masing-masing kelas adalah : Tole, Gede, Mechan, Agus, Ayu dan Puja. Semua stick holder yang ada di Pura tersebut sangat mendukung event ini, perlombaan kali ini hanya merebutkan juara satu saja dan berhak untuk berlibur ke Bali menginap di hotel berbintang lima selama dua hari dua malam. Hadiahnya disponsori oleh Yayasan Pura dan Koperasi Pura. Peserta lomba diminta menggambar/ melukis sebuah bangunan suci yang ada di Pura dirumah masing-masing dan kemudian diserahkan ke panitya lomba pada hari yang sudah ditentukan.

Dengan iming-iming hadiah tersebut membuat salah satu orang tua anak ikut kalang kabut berkeinginan memenangkan hadiah yang dijanjikan panitya. "Kesini nak Tole biar papa yang buatkan gambar bangunan suci, papa akan buatkan gambar dan warna yang paling bagus agar kamu bisa jadi juara, kalau jadi juara kan bisa menginap sekeluarga di hotel kelas berbintang tersebut, ini kesempatan emas jangan disia-siakan nak. Bayangkan, seumur-umur papa nggak bakalan bisa ke hotel berbintang nginap di losmen saja papa belum pernah, gaji papa nggak cukup disisihkan untuk bayar hotel berbintang yang sangat mahal tersebut", ujar orang tua Tole meyakinkan anaknya. Tole hanya terdiam dan hanya bisa menuruti kehendak orang tuanya, Kertas gambar, pensil, pewarna yang sudah disiapkan diserahkan kepada orang tuanya.

Saatnya tiba pada hari pengumpulan lukisan, sekaligus pengumuman dan penilaian lukisan, ke 6 lukisan yang tampil memberi corak yang berbeda, Nampak lukisan Tole yang paling bagus dan paduan warna yang serasi , dan gambar Puja yang paling jelek , karena gambarnya sangat polos, sesuai dengan bakatnya. Panitya memutuskan lukisan Tole yang jadi pemenangnya dan berhak atas haduiah yang dijanjikan panitya yaitu menginap di hotel berbintang lima di Bali bersama keluarganya. Orang tua Gede, Mechan, Agus, dan Ayu, protes keras karena tidak puas dengan keputusan panitya, mereka mengeluh, kenapa Tole sebagai pemenang, “ mana mungki seorang Tole yang baru kelas satu SD bisa menggambar seindah itu , keluh mereka pada panitya, protes mereka tidak ditanggapi, mengingat panitya sudah menetapkan criteria saat itu yaitu ditekankan kepada keindhan dan keserasian warna. Tidak ada criteria yang lain

Tegak odalan Pura berikutnya, diadakan lagi lomba yang sama, ke empat orang tua yang tidak puas tersebut , ingin anaknya bisa sebagai pemenang. Orang tuanya pun ikut terlibat membantu melukis, karena takut kecolongan seperti gambar Tole pada perlombaan yang lalu, Bahkan ada salah satu orang tua yang mencari tukang lukis professional untuk mendapatkan lukisan yang paling bagus, Puja tidak mau ketinggalan untuk merayu orang tuanya. “ Pak buatkan lukisan untuk Puja ya Pak , biar bagus seperti lukisan Tole yang dulu, kalau menang kan bisa sama-sama menginap di hotel berbintang Pak, Bapak Puja terdiam, dan hanya menyuruh kepada Puja untuk melukis sendiri sesuai dengan bakatnya, Puja pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya melukis sesuai kemampuannya, Bapak Puja hanya mengawasi dari kejauhan sambil membaca majalah Media Hindu.

Tiba saatnya semua lukisan sudah dikumpulkan, dan panitya sudah siap untuk menyeleksi satu persatu. Kemudian terpilihlah, lukisan Puja lah jadi pemenangnya. Kali ini lebih heboh ke lima orang tua murid protes besar pada panitya, kenapa lukisan Puja yang jadi juara, lukisan jelek begitu kok jadi pemenangnya ?, demikian keluh mereka. Protes mereka tidak dihiraukan lagi oleh panitya, karena criterianya saat ini sudah dirubah ditekankan pada asfek kejujuran , tidak ada criteria yang lainnya.

Ajarkan kejujuran sejak dini, harus dilakukan dalam pratek kehidupan sehari-hari dan berkesinambungan sejak dini. Orang tua yang terbiasa menanam benih kebohongan kepada anaknya, maka setelah besar akan membuahkan buah kepalsuan, baik itu dalam bentuk Koropsi, atau pun kejahatan lainnya. Jadi untuk membentuk generasi mendatang yang tangguh dan bermoral Dharma harus mulalui benih yang bagus ditanamkan sejak dini, sehingga astungkara menjadi anak yang suputra. (Nyoman Sudiarta)