PHDI SIDOARJO

Tuesday 26 March 2013

Hari Raya Hindu dan Budaya Bali sebuah Dilema


 Oleh : I Gusti Ketut Budiartha
Dalam satu tahun berapa hari libur Hindu di Bali : Galungan 6 hari, Kuningan 6 Hari, Pagerwesi 2 hari, Nyepi 3 hari, Saraswati 2, Siwaratri 1 hari belum lagi ditambah hari libur nasional. Liburnya umat Hindu di Bali merupakan peluang besar Bali warga dauh tukad utk mengisi kekosongan bisnis dalam hari Libur. Bagaimana tidak, pada saat hari libur, tidak ada satupun pedagang kecil dari Bali (baca Hindu) yang buka dagangannya, bukan tidak ada keinginan orang Bali untuk buka dagangan pada hari libur, namun lebih kepada rasa malu (duniawi) kalau berjualan pada hari raya, karena ada cemooh dari dari saudara kita yang lain : "orang beryadnya kok cari duit". Akhirnya secara total pada hari galungan "libur cari duit" selama 3 hari. Peluang ini dilihat secara jeli oleh saudara kita dari "dauh tukad". Awalnya dia datang utk mengisis kekosongan pada hari libur, namun lama-lama pelanggan sudah lengket kepada dia karena dia menerapkan management bisnis lebih cermat, kualitas lebih baik, harga lebih murah, plus ditambah layanan lain yang lebig premium. Di satu sisi pada saat Galungan seperti ini kita tidak bisa hanya libur 1 hari pada hari H galungan saja, karen proses dalam berhari raya sangat panjang, mulai nyekeb biu, membuat pebjor, memasang wastra, kemudian nampah, membuat banten dsbnya, membuat kita membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam sebuah hari raya. Di lain sisi, orang-orang yang bergerak dalam bisnis pariwisata, sangat senang adanya budaya hari raya seperti di Bali saat ini, banyak yang bisa dijual kepada wisatawan, lagi-lagi menambah membludaknya wisatawan asing yang datang ke Bali. Di sisi lain kita sangat bangga dengan budaya libur panjang ini, karena budaya seperti ini harus dipertahankan, hanya inilah yang mampu mempertahankan Hindu sampai sekarang, demikian wejangan pada sesepuh kita di Bali. Sementara dari pendapatan pariwisata, berapa persen yang masuk kepada kantor kita sebagai rakyat jelata ? Pernahkah ada melakukan survey?

Demikian sebaliknya pada hari raya Lebaran, kalau kita pulang ke Bali kita akan melihat kenyataan bahwa pasar senggol, pasar malam di Bali akan sepi dari pedagang, karena semua pedagang berasal dari daud tukad. Kita umat asli Bali kadang-kadang sangat sulit mencari sebungkus nasi pada hari Lebaran. Hal ini disebabkan, hampir semua sektor informal sudah dikuasai oleh rekan kita dari "dauh tukad".

Konon saat ini penduduk pendatang di kuta jumlahnya sudah mencapai 60 %, sementara kita hanya 40 & sekali lagi di Kuta. Ini untuk menjadikan renungan kita bersama, bagaimana kita harus menjalankan hari raya, mempertahankan budaya, namun disisi lain kita masih tetap bisa exis dalam kehidupan khususnya masyrakat bawah. Agak ironis sering kita dengar : "walaupun kita sering berhari-raya, sering beryadnya yang memakan waktu panjang, buktinya ekonomi kita tetap bagus". Statement itu ada benarnya bagi golongan masyarakat menengah ke atas. Pernahkah kita melalukan survey utk golongan masyarakat bawah, apakah mereka masih bisa mempertahan hidup, atau harus menerima tawaran utk transmigrasi dari pemerintah?

Ini hanya sebuah renungan kita bersama. Semoga ada manfaatnya.
Selamat hari raya galungan, semoga kita semua senantiasa dalam lindunganNYA.

No comments:

Post a Comment