PHDI SIDOARJO

Thursday 7 January 2010

“DHARMA GITA” SEBAGAI MEDIA MENUMBUH KEMBANGKAN RASA KEAGAMAAN DAN PELAKSANAAN DHARMA AGAMA

Metode pembelajaran agama sudah dilaksanakan oleh orang tua kita terhadap anak-anaknya sejak kecil. Ketika bulan Purnama apalagi saat odalan di pura, saya masih ingat dan terngiang di telinga saya bagaimana girangnya menyambut perayaan tersebut. Bersama teman-teman, yang waktu itu di tempat saya ada semacam permainan kala-kalaan, silas kapal, kasti dll, akan tetapi tidak menyurut rasa gembira dan tidak ada beban yang menyelimuti hati.

Nah bagaimana dengan kehidupan dan perkembangan di abad sekarang? Atas kemajuan jaman dan teknologi serta sumber sumber pelajaran agama yang dengan mudah didapat, apalagi belakangan ini Internet sudah menjamur, sehingga dapat dikatakan munculnya generasi mall, plaza, makan siap saji, handphone, internet. Mereka tidak saja menganut budaya kebendaan dan tingkah laku, akan tetapi juga menganut idiologi massa dan instan. Padahal pijakan mereka pada budaya sendiri tidak kokoh atau sudah hilang. Buku-buku sumber pelajaran agama sekarang sudah banyak, kuncinya apakah kita mau rajin dan gemar membaca? Sebenarnya metode yang dipakai oleh orangtua kita untuk belajar agama adalah metode berjenjang. Salah satu diantaranya adalah melalui Dharma Gita.

Dharma Gita berasal dari kata dharma yang artinya kebajikan, kesucian, kebenaran dan Gita artinya nyanyian. Jadi “Dharma Gita” adalah nyanyian tentang kebenaran , kesucian, atau kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan upacara keagamaan. Tujuannya adalah dapat menumbuhkan rasa bhakti, menumbuhkan rasa ketulusan keheningan hati dalam memuja Ida Sanghyang Widhi. Fungsi Dharma Gita secara umum sebagai media untuk menumbuh kembangkan rasa keagamaan dalam pelaksanaan Dharma Agama. Dalam Agama Hindu, rasa keagamaan ditumbuhkan dengan ramuan Rasa Guna Bhoga dan Rasa Bhasa Basita yang diserap melalui Panca Golaka yaitu lima kemampuan persepsi atau daya tangkap indrya dalam bentuk tan matra.

Dalam Vrhaspatitattwa 33 disebutkan:
Ikang śabda tanmãtra dadi talinga, pinaka pangřengö pakénanya, ikang sparsatanmãtra dadi kulit, pinaka pangrasa panas tis pankénanya, ikang rũpatanmãtra dadi mata pinaka panon pakénannya, ikang rasatanmãtra dadi hilat pinaka pangrasa pakénanya, yan pamukti sadrasa, ikang gandhatanmãtra dadi irung pinaka pangambung gandhabo awangi pakénanya, apan ika pinaka golakaning indriyeka sampun ingujar ngũni.

Kemudian yang mengikuti Panca Budhi Indria yaitu lima indriya penyedar (Srotendrya, Tuakindrya, Caksundrya, Jihwendrya, dan Granendrya). Dari rasa-rasa tersebut timbulnya rasa cinta kasih melalui tembang-tembang yang dilantunkan umumnya oleh orang tua kepada anak- anaknya yang diharapkan akan tumbuh menjadi anak yang “SUPUTRA” berdasarkan harapan-harapan yang terkandung dalam tiga Adnyana Sakti yakni, Sang Hyang Gurureka, Sang Hyang Saraswati, dan Sang Hyang Kawiswara.

Dharma gita juga disampaikan dengan cara berjenjang oleh orangtua kita mulai dari yang ringan dan yang lucu, yang tak beraturan, anak anak yang baru mulai nyloteh mulai belajar berbicara, belum bisa merangkai kata-kata sampai dengan yang penuh dengan makna seperti Sekar Rare dan Sekar alit, Sekar madya, Sekar Agung, Palawakya dan Sloka dan Sruti. Semua hal tersebut disampaikan dengan berjenjang/hirarki, yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan putra-putrinya. Seperti terlihat dalam beberapa contoh Sekar Rare berikut.

Ratu ayu metangi me ilen ilen
Dong pirengan munyin sulinge ne di jabe
Enyen ento menyuling di jabe tengah
Gusti ngurah alit jambe pemecutan

Dahulu tembang tersebut sering terdengar di telinga ketika orang tua pada jaman dulu membangun anak-anaknya. Tidak saja membangunkan akan tetapi ketika mereka menggendong dan sambil menyuapi anak-anaknya.

Cakup Cakup Balang
Luwung titi luwung pengancan
Empak empak kayu bunut
Tepen umah isangut, tepen umah isanghyang….dst

Gending tersebut sering dilantunkan ketika seorang anak mulai belajar merangkak, berdiri dan bahkan mulai belajar berjalan langkah demi langkah dan si anak bulai bisa merespon canda ria dari orang tua.

Bebeke putih jambul, Mekeber ngaja kanginan,
teked kaje kangin, ditu ye tuwun mekejang,
briak briuk mesileman, kitak kituk mepangenan
.

Nyanyian tersebut sering terdengar di telinga kita ketika seorang ibu ingin memandikan jabang bayi sampai selesai dan anak-anak tersebut benar-benar bersih dan sudah berbaju. Nyanyian tersebut sudah mengandung nilai-nilai ajaran agama yang penuh dengan makna filosofinya.

Bila kita dapat menyimak makna kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam nyanyian tersebut di atas, tidak hanya cukup merasa puas dengan apa yang kita miliki sekarang dalam hal ini bukan kekayaan akan tetapi ilmu pengetahuan memegang peranan yang amat sangat penting dalam menghadapi zaman globalisasi seperti sekarang tentunya dengan menyatukan visi dan misi dalam pengabdian dengan harapan suatu pengabdian tidak ada sesuatu yang disesali akan tetapi pengabdian yang tulus dan ikhlas. (Ni Nyoman Tanjung - Guru Pashraman JSA)

No comments:

Post a Comment